BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah dari
paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun
teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu
entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan
pada kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris.
Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan
terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari
alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen,
baik mengenai aspekontologis epistemologis, maupunontologis. Karena
setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas (validity) dan reliabilitas
(reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah
keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat
di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah
pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar
tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga,
penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite/saling
mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
1.
Pilar
ontologi (ontology)
Selalu
menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual
atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )
b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan,
sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi
penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan,
batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis
moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi
menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu
ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika teentang sumber
pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran,
proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman
epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita: (a) sarana legitimasi bagi
ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu (b) memberi kerangka acuan
metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan ketrampilan proses (d) mengembangkan
daya kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan
nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau
pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan
ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto
Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara imperative mengacu ketiga
pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat integratif danprerequisite.
- Rumusan Masalah
- Jelaskan ilmu dalam perspektif historis?
- Jelaskan aspek penting dalam ilmu pengetahuan?
- Prinsip-prinsip berpikir ilmiah!
- Jelaskan Masalah nilai dalam IPTEK?
- Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi!
- Tujuan
- Untuk memahami ilmu dalam perspektif historis
- Untuk memahami aspek penting dalam ilmu pengetahuan
- Untuk memahami prinsip-prinsip berpikir ilmiah.
- Untuk mengetahui masalah nilai dalam IPTEK.
Agar lebih memahami pancasila sebagai dasar nilai dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB II
PEMBAHASAN
- Ilmu dalam perspektif historis
Ilmu
pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan
menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, Abad Tengah, Abad Modern,
sampai Abad Kontemporer.
Masa
Yunani Kuno (abad ke-6 SM-6M) saat ilmu pengetahun lahir, kedudukan ilmu
pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan
berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa yang
merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimana pun corak mitologis
ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan,
untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan abadi, di balik yang
bhineka, berubah dan sementara ( T. Yacob, 1993).
Setelah
timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra-Sokrates, yaitu dengan
kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak perkembangan,
seperti yang ditunjukkan oleh trio filsuf besar : Socrates, Plato dan
Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu
pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Aristoteles membagi ilmu
menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika,
politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik dibagi
menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut
metafisika.
Memasuki
Abad Tengah (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno menjadi
ajaran praksis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri,
dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi
yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsuf besar yang
berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas, pemikiran mereka
memberi ciri khas pada filsafat Abad Tengah. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler
kini dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani, filsafat menjadi
bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga
menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf
Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan membawanya ke
Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat melalui kaum
Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline of
History (1951) mengatakan, “Jika orang Yunani adalah Bapak metode ilmiah,
maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.
Muncullah
Abad Modern (abad ke-18-19 M) dengan dipelopori oleh gerakan Renaissance di
abad ke-15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18,
melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau
modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance
dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler,
Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan
mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki
kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan
hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya
yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula
menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat.
Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran
sendiri (Koento Wibisono, 1985).
1) Dalam
perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan
metodologinya masing masing
mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu
cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau fisika, melalui
tokoh-tokohnya: Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran
benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium Caelistium yang
kemudian dikembangakan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johanes Kepler
(1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh
dan mendalam.
2)
Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De
Humani Corporis Fabrica telah melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang
anatomi dan biologi.
3)
Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie
Naturalis Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi
mekanika klasik.
Perkembangan
ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial dengan gaya semacam itu mencapai
bentuknya secara definitif melalui kehadiran Auguste Comte (1798-1857) dengan Grand
Theory-nya yang digelar dalam karya utama Cours de Philosophie Positive yang
mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana pun akan
mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan
metafisik. Istilah positif diberi arti eksplisit dengan muatan
filsafati, yaitu untuk menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata
haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan (Tim Dosen
Filsafat Ilmu UGM, 1997).
Metode
observasi, eksperimentasi, dan komparasi yang dipelopori Francis Bacon
(1651-1626) telah semakin mendorong pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Semua itu memberi isyarat bahwa dunia Barat telah berhasil melakukan tinggal
landas untuk mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi.
Battle
cry-nya
Francis Bacon yang menyerukan bahwa “knowledge is power” bukan sekedar
mitos, melainkan sudah menjadi etos, telah melahirkan corak dan sikap pandang
manusia yang meyakini kemampuan rasionalitasnya untuk menguasai dan meramalkan
masa depan, dan dengan optimismenya menguasai, berinovasi secara kreatif untuk
membuka rahasia-rahasia alam. Didukung oleh roh kebebasan Renaissance dan
Aufklaerung, menjadikan masyarakat Barat sebagai masyarakat yang tiada
hari tanpa temuan-temuan baru, muncul secara historis kronologis berurutan dan
berdampingan sebagai alternatif.
Revolusi
ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-sekarang) berkat teori relativitas
Einstein yang telah merombak filsafat Newton (semula sudah mapan) di
samping teori kuantumnya yang telah mengubah persepsi dunia ilmu tentang
sifat-sifat dasar dan perilaku materi. Sedemikian rupa sehingga para pakar
dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil mengembangkan
ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya
seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo, 1982).
Optimisme
bersamaan dengan pesimisme merupakan sikap manusia masa kini dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan spektakulernya. Di satu
pihak telah meningkatkan fasilitas hidup yang berarti menambah kenikmatan.
Namun di pihak lain gejala-gejala adanya malapetaka, bencana alam (catastrophe)
menjadi semakin meningkat dengan akibatakibat yang cukup fatal.
Berdasarkan
gejala yang dihadapi oleh masing
masing
cabang ilmu, Auguste Comte dalam sebuah Ensiklopedi menyusun hirarki ilmu
pengetahuan dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
Di atas matematika secara berurutan ditunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia,
biologi dan fisika sosial atau sosiologi. Ia menjelaskan bahwa sampai dengan
ilmu kimia, suatu tahapan positif telah dapat dicapai, sedangkan biologi dan
fisika sosial masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai theologis dan
metafisis.
Pemikiran
Auguste Comte tersebut hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk
mendukung sikap pandang yang meyakini bahwa masyarakat industri sebagai tolak ukur bagi tercapainya
modernisasi, maka harus disiapkan melalui penguasaan basic science, yaitu
matematika, fisika, kimia, dan biologi dengan penyediaan dana dan fasilitas
dalam skala prioritas utama (Koento Wibisono, 1985).
Bersamaan
dengan itu logico positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang
dalam langkah-langkah progresinya menempuh jalan : observasi, eksperimentasi,
dan komparasi, sebagaimana diterapkan dalam penelitian ilmu alam, mendapatkan
apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam
penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial.
Logico
positivisme merupakan model atau teknik penelitian
yang menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan
derajat optimal, bermaksud agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan
derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian keberhasilan dan kebenaran
ilmiah diukur secara positivistik. Dalam arti yang benar dan yang nyata
haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan. Akibatnya adalah
bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan kualitatif yang justru menjadi
basis eksistensi kehidupan manusia menjadi terabaikan atau terlepas dari
pengamatan. Kebenaran dan kenyataan diukur serta dimanipulasikan secara
positivistitik kuantitatif. Keresahan dan penderitaan seseorang atau masyarakat
tidak tersentuh. Masalah objektivitas menjadi tema-tema unggulan dalam
kehidupan keseharian manusia saat ini, dengan mengandalkan penjelasan validitas
kebenarannya secara matematis melalui angka-angka statistik. Langkah metodis
semacam ini sering penuh dengan rekayasa dan kuantifikasi yang dipaksakan
sehingga tidak menjangkau akar-akar permasalahannya
Kritik
dan koreksi terhadap positivisme banyak dilancarkan, karena sifatnya yang
naturalistik dan deterministik. Manusia dipandang hanya sebagai dependent
variable, dan bukan sebagai independent variable. Manusia bukan
lagi pelaku utama yang menentukan, tetapi objek yang diperlakukan oleh ilmu dan
teknologi.
Wilhelm
Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi, membagi ilmu ke dalam Natuurwissenchaft
dan Geisteswissenchaft. Kelompok pertama sebagai Science of the
World menggunakan metode Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science
of Geist menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas,
salah seorang tokoh mazhab Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi
dengan the basic human interest sebagai dasar, dengan mengemukakan
klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial-kritis dan historis-hermeneutik,
yang masing-masing menggunakan metode empiris, intelektual rasionalistik, dan
hermeneutik (Van Melsen, 1985).
Adanya
faktor heuristik mendorong lahirnya cabang-cabang ilmu yang baru seperti : ilmu
lingkungan, ilmu komputer, futurologi, sehingga berapapun jumlah
pengklasifikasian pasti akan kita jumpai, seperti yang kita lihat dalam
kehidupan perguruan tinggi dengan munculnya berbagai macam fakultas dan program
studi yang baru.
Ilmu
pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak kandungnya,
yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek kini
telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan
mitos, yang akan menjamin survival suatu bangsa, prasyarat (prerequisite)
untuk mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan (power) yang
dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang
substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan
secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif.
Fenomena
perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang
mengalami masa transisi simultan, yaitu:
1) Masa
transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan
budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih
oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara
mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir
dengan kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk
meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos
kerja, kaidah-kaidah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser mencari format
baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju
masyarakat industri. Filsafat “sesama bus kota tidak boleh saling mendahului”
tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap pakai,
keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.
2) Masa
transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional kebangsaan.
Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju satu kesatuan
pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation
state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur
pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara
intensif merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri
sebagai satu kesatuan bangsa.
3) Masa
transisi budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global-mondial. Visi,
orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak azasi,
demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan
fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan atau pun keagamaan, kini mengendor
menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkret
dalam tataran operasional. Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun
tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.
Implikasi
globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam
kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan di mana pun, terlepas
dari sistem ideologi atau sistem sosial yang dimiliknya. Dipertanyakan apakah
hak-hak azasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan
keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.
Nyatalah
bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks, karena masyarakat hidup
dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin mempertahankan
nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru
yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (subculture),
sedang di lain pihak muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap
perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan
dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke
tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).
B. Beberapa
aspek penting dalam ilmu pengetahuan
Melalui
kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek
struktural.
Aspek
fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/memanifestasikan dalam
bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam
kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah yang menurut
partadigma Merton disebut universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang
teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan
kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu
melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, konggres. Sedangkan sebagai
produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit
tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana
disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada
masyarakat dunia.
Aspek
struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai berikut.
1) Sasaran
yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand)
2) Objek
sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu
tanpa mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan
terus berkembang justru muncul permasalahanpermasalah baru yang mendorong untuk
terus menerus mempertanyakannya.
3) Ada
alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terusmenerus dipertanyakan.
4) Jawaban-jawaban
yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento Wibisono,
1985).
Ciri
khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris,
dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar
akademis).
Konsekuensi
yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti kemajuan
ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress,
improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan
kemudahankemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan
kemakmuran hidupnya secara fisikmaterial.
Negatif
dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah
dengan menjauhi nilainilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan
kehidupan manusia sendiri.
Akhirnya
tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai
kedudukan substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan
substantif itu ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan
manusia dalam segala segi dan sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu
pengetahuan dan teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.
- Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
1) Objektif:
Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal
: perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2) Rasional:
Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3) Logis:
Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu
rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4) Metodologis:
Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan
bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
5) Sistematis:
Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang
jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang
jelas.
- Masalah nilai dalam IPTEK
- Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah
satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak
bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi
problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih
menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan
ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses
perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi
tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan
kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini. Karena
yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan
sistematis mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara
gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya
keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan
berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu.
a)
Mengapa timbul
spesialisasi?
Mengapa
spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam.
Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu
mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan
pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak mungkin metode
dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau psikologi mau maju dan
berkembang harus mengembangkan metode, objek dan tujuannya sendiri. Contoh ilmu
yang berdekatan, biokimia dan kimia umum keduanya memakai ”hukum” yang dapat
dikatakan sama, tetapi seorang sarjana biokimia perlu pengetahuan susunan
bekerjanya organisme-organisme yang tidak dituntut oleh seorang ahli kimia
organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan mendalam, meskipun tidak
diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar-dasar yang sama.
Spesialisasi
ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun kesatuan dasar azas-azas
universal harus diingat dalam rangka spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa
persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu
diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan
manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan
beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia.
Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua
ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo, 1982).
b)
Persoalan yang
timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi
mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi
positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian
danpengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis
merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan
intensif membawa dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain.
Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari
rumpun keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya
otonom dan paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga
tidak tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi
manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu diperoleh dari
ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari
atau dikuasai.
Bila
keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu
pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada manusianya,
maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan
bahkan dari dirinya karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam
praktikpraktik ilmu spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap
kenyataan dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi
dll.
Persoalan
tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir jika
ada kerjasama ilmu ilmu
pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan mengurangi
kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan penempatan
tiaptiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia. Keharusan kerjasama
ilmu sesuai dengan sifat sosial manusia dan segala kegiatannya. Kerjasama
seperti itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang luas
dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum
mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia
sendiri.
- Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Akhir-akhir
ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling
nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah
mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu
pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika?
Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral?
Untuk
menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama,
kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kaitannya dengan manusia. Kedua, membicarakan dimensi etis serta kriteria etis
yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam
usulan jalan keluar dari permasalahan yang muncul.
a)
Permasalahan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kalau
perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati janji awalnya 200 tahun
yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan
ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan
manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan
menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia dapat
mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa
ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan
itu sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad
ini.
Namun
dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi
masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia. Misalnya,
menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati
hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh
kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri.
b)
Akibat
teknologi pada perilaku manusia
Akibat
teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen penerapan kontrol tingkah
laku (behaviour control). Behaviour control merupakan
kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki
oleh si pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding).
Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan
munculnya masalahmasalah etis seperti berikut.
1) Penemuan
teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang
diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak melalui ”psychosurgery’s
infuse” kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation of the brain
(E S B) : shock listrik tertentu. Teknologi baru dalam bidang
psikologi seperti “dynamic psychoteraphy” mampu merangsang secara baru
bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bisa diatur dan disusun. Kalau begitu
kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan.
2) Makin
dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia,
memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media lain.
3) Pemahaman
“njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk
menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak,
menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia.
4) Behaviour
control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang
dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul
justru karena si pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan
bertindak si kontrol dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.
5) Akibat
teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher
eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia
bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial
manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong
mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia
tidak mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti
dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T.
Yacob, 1993).
- Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Ada
empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara
konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
a) Rumusan
hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia.
Individu132 individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu
pengetahuan.
b) Keadilan
dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan
teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik.
Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia
mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang politik,
ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan
yang sama menggunakan hak-haknya.
c) Soal
lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi
sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada
seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda
yang satu dengan benda yang lain di alam ini.
d) Nilai
manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia
dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor
tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut
kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem.
Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan
penghayatan hidup sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan
teknologi mau manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak
boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung
dehumanisasi ( T. Yacob, 1993).
- Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi
. Dalam mempertimbangkan sebuah strategi
secara imperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar nilai
menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu.
Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan
sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti,
atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai
masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila
dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi
aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah
sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami
Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi
kondusif baik struktural maupun kultural.
Peran
nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
1) Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan
antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan
manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2) Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan,
tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.
3) Sila
Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang
lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem.
Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan
individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.
4) Sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5) Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan
Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan
komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh
kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya
kreativitas dan inovasi.
Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai
Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia
merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban
manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada
penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu
hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat
diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya
mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak
bagi kehidupan manusia yang berbudaya. Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan
ilmu sosial dengan gaya semacam itu mencapai bentuknya secara definitif melalui
kehadiran Auguste Comte (1798-1857) dengan Grand Theory-nya yang digelar
dalam karya utama Cours de Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa
cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya
pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah
positif diberi arti eksplisit dengan muatan filsafati, yaitu untuk menerangkan
bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat, dan
memberi kemanfaatan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1997).
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan sudah ada dari jaman yonani kuno, dan
semakin berkembang dari yang tadinyanya hanya ada satu ilmu pengetahuan, dan
sekarang sudah muncul beberapa ilmu pengetahuan yang membawa kita pada jaman
modern. Di
Era Globalisasi ini segala upaya dilakukan demi kemajuan taraf hidup dan
martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Berbagai buah
pikiran manusia telah terlahir menandakan dunia Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
terus berkembang. perkembangan IPTEK. Disadari atau tidak gejala globaisasi
sudah terjangkit di negeri ini. Ketergantungan masyarakat terhadap hasil karya
perkembangan IPTEK semakin melekat. Pemerintah sebagai pihak pemegang amanat
mau tidak mau harus mengikuti irama kehidupan bangsa ini. Layaknya sang
eksekutif mereka memiliki kewajiban atas nasib bangsa ini. Maka dari itu sudah
sepatutnya mereka menanamkan dasar-dasar nilai Pancasila dalam perkembangan
IPTEK di bumi pertiwi ini. Pantaslah Pancasila dijadikan pijakan dalam
melangkah sebab telah diakui bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa
Indonesia yang tak lekang oleh waktu. Sila-sila pancasila harus menjadi sumber
nilai, kerangka pikir serta basis moralitas bagi pengembangan IPTEK. Sehingga
ke depannya segala perkembangan dan kemajuan IPTEK yang telah dicapai tidak
salah arah dan tepat pada tujuan, yaitu menciptakan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera.